Sabtu, 21 Januari 2012

Mengintip Fulus dari si Pemakan Wortel


Dengan penampilannya yang imut dan menggemaskan, kelinci tak cuma menyenangkan digendong-gendong. ernak kecil itu juga bisa dijadikan komoditas komersial sebagai penghasil daging maupun satwa kesayangan. Usaha ternak kelinci biasanya diawali pelaku bisnis dari hobi. Yanti, salah satunya. Pemilik Riponti Rabbit, peternakan kelinci hias di Pangkalan Jati V, Jakarta Timur ini merasakan manfaat ganda antara menyalurkan kegemaran dan meraih keuntungan. Keduanya bisa berjalan, “Asalkan kelinci dikembangkan secara intensif dengan pemberian pakan dan perawatan yang benar dan tepat,” kata ibu kelahiran 1966 itu.
Demikian pula Sinto Syam, pemilik Istana Rabbit, peternakan kelinci di Bogor-Jabar. Dia berpendapat, prospek usaha peternakan kelinci cukup menjanjikan. Pasalnya,  nilai ekonomis kelinci cukup tinggi. Harga kelinci hias di pasaran lokal bermain pada kisaran Rp100 ribu hingga Rp500 ribu per pasang. Sementara anak kelinci konsumsi bisa laku dijual Rp30 ribu sepasang. Sedangkan setiap ekor kelinci konsumsi dewasa dihargai Rp20 ribu.

Modal Kecil
Saat berbincang dengan AGRINA, Yanti mengatakan usaha ternak kelinci hias akan balik modal dalam waktu 6 bulan sampai satu tahun. Skala peternakannya minimal 100 ekor kelinci betina dan 10 ekor kelinci jantan. Namun karena memulai bisnis pada 2005 dari hobi, ia hanya bermodalkan Rp500 ribu. Modal yang tak seberapa ini habis untuk membeli sepasang kelinci hias, biaya pembuatan kandang, dan penyediaan pakan.

Kini usaha Yanti sudah berkembang mencapai 30 ekor kelinci hias yang terdiri dari empat jenis, yaitu Lop, Dutch, Rex, dan Tan. Menurut pengamatan dia, maraknya usaha ternak kelinci baru berjalan satu dua terakhir. Saat ini Riponti Rabbit sudah mampu menjual anakan kelinci hias umur dua bulan sebanyak 3—5 pasang per bulan. Harga per pasang jenis Dutch dan Rex mencapai Rp60 ribu—Rp70 ribu, sedangkan Lop Rp150 ribu—Rp200 ribu. Sementara Tan masih belum dijual lantaran masih merupakan koleksi baru.
Di Istana Rabbit yang merangkap sebagai rumah tinggal seluas satu hektar, Sinto mengembangkan 15 jenis kelinci hias dan sejumlah ras kelinci lokal untuk konsumsi.

Mengenai perawatan kelinci, Yanti menilai mudah dan murah. Pihaknya hanya menganggarkan biaya pakan hijauan sebanyak Rp5.000 per hari untuk 30 ekor kelinci. Hijauan ini merupakan limbah dari pasar tradisional, seperti sisa sayuran termasuk wortel. Meski limbah, “Jangan beli yang sudah membusuk,” ia menyarankan. Pakan lainnya berupa rumput dan ubi-ubian.
Menu pakan kelinci rupanya tak hanya wortel seperti dalam dongeng anak-anak. Yanti juga memberikan pellet khusus khusus bagi kelinci yang dibelinya dengan harga Rp15 ribu per kilo. Seekor kelinci maksimal menghabiskan satu kilo per hari, sehingga untuk semua kelincinya ia menyediakan 25—30 kg pellet per bulan.
Ditambahkan mantan pegawai bank itu, setiap hari kelinci diberi makan dua kali, pagi hari dan menjelang malam. Jumlahnya minimal seperlima bobot badan kelinci. Hal penting lainnya adalah menjaga kelinci agar tidak mengalami dehidrasi dengan memberikan minum yang banyak.
Pengembangbiakan kelinci di tempat Sinto dilakukan secara sederhana. Kelinci diletakkan dalam kandang permanen. Setiap kandang terdiri dari satu pasang. Setelah induk kelinci bunting, dipindahkan ke kandang khusus sampai melahirkan. “Daur mulai dari birahi, bunting, dan menyusui hingga siap jual mencapai waktu sekitar empat bulan,” kata Sinto. Dalam satu periode, kelinci dapat melahirkan anak 5—8 ekor. Kelinci dapat dijadikan induk mulai umur 5 bulan hingga 3 tahun.
Kecuali pakan dan minum, kebersihan kandang harus dijaga dengan penyemprotan air setiap hari. Hal ini untuk menjaga agar kelinci tidak mudah terserang penyakit, seperti penyakit kulit dan diare.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar